Selasa, 12 Mei 2020

Rentetan Peradaban Islam


Ramadhan…

Begitu mendengar kata tersebut maka yang muncul dalam benak adalah identik dengan Muslim, Islam. Ramadhan mengajarkan umat muslim berpuasa: menahan makan, minum, nafsu serta “kesenangan” lainnya. 

Ramadhan adalah lahan dakwah bagi umat Islam, berdakwah banyak hal tentang larangan dan seruan Tuhan atau risalah Nabi, sejarah, aspek social serta yang bertalian dengan Islam. 

Saat ini, umat muslim atau manusia pada umumnya lebih tertarik membicarakan keagamaan melalui media massa. Tak bisa dipungkiri media massa dapat diakses dengan instan sehingga tak heran jika zaman tekhnologi tidak terlepas dari social media. 

Social media sangat membantu dalam pemenuhan kebutuhan manusia, untuk itu para pendakwah juga banyak memanfaatkan Via tersebut sebagai jalan untuk berdakwah. Di sisi lain social media ini..juga  tak sedikit yang disesatkan baik secara pemikiran hingga berujung pada tindakan. 

Kemudahan membuat akun dalam social media membuat khalayak susah mengenali perkara yang hak dan Bathil. Mulai dari berita Hoax, ujaran kebencian bahkan kesalahan berpikir lainnya.

Diantara kesalahan berpikir yang dialami khalayak akibat dari social media adalah gagal mengenali sejarah karena yang disajikan adalah sesuatu yang instan serta tidak mendalam. Ramadhan seolah-olah  adalah moment menunjukkan kesalehan, berlomba bersedekah kemudian diumbar pada soaial media, berlomba berpakaian yang dianggap menurut aurat bahkan berlomba berdakwah terkait halal dan haram. Tak sedikit juga menyinggung peradaban atau  budaya Islam dan budaya non Islam atau mereka menyebutnya budaya kaum kafir.

Cukup mencengangkan jika mendengar peradaban non Islam atau budaya kaum kafir. Istilah tersebut sangat familiar pada khalayak. Pertanyaan kemudian apa yang mereka pahami terkait peradaban atau budaya Islam?

Islam jika menilik secara kuantitatif adalah agama terbesar kedua di dunia secara penganut. Angka fantastis demikian tentu tidak terlepas dari masa gemilang Islam. Jika merefleksi sejara Islam hingga membentuk sebuah peradaban maka yang muncul adalah Daulah Umayyah dan Abbasiyah.

Mengapa pada pemerintahan Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah adalah puncak kejayaan Islam?

Bahkan banyak khalayak elergi  mendengar kata Umayyah…
Yang timbul di benak khalayak adalah perlakuan Muawiyah kepada Ali bin Ab Thalib. Umayyah bukan hanya Muawiyah, sejarah kepemimpinan Islam adalah sejarah yang panjang sehingga Fallaci dalam memahami Islam perlu disingkirkan.

Perjalanan Islam dari kota Hijaz ke Damasku (Suriah) pada Daulah Umayyah adalah perkembangan Islam yang sangat signifikan. Secara Geografis Damaskus sangat dekat dengan Yunani dan Romawi sebagai salah satu awal peradaban manusia. 

Di bawah kepemimpinan Daulah umayyah bagaikan magnet, ia menyihir kota yang ditaklukkan sebagai kota pelajar setelah Yunani dan Latin. Mereka banyak menterjemahkan litaratur Yunani dan Latin ke dalam bahasa Arab bahkan literature China yang juga merupakan bagian dari peradaban awal manusia menurut Karl Jasper. Tentu menerjamahkan bahasa Yunani, Latin China ke dalam bahasa Arab ataupun sebaliknya secara tidak langsung mempelejari secarah keseluruhan peradaban mereka baik bidang Filsafat, politik, ekonomi, budaya dan aspek lainnya. 

Setelah daulah Umayyah runtuh dan diambil alih oleh daulah Abbasiyah, Islam justru semakin bangkit. Baghdad sebagai ibu kota pada saat itu mampu melegenda, Baghdad yang berdampingan Persia dan India yang juga sebagai pusat peradaban manusia melahirkan peradaban manusia yang baru ditandai dengan proses akultrasi atau asimilasi budaya dari ketiga wilayah yang sangat luas tersebut.

Persia atau iran memiliki peradaban yang diwariskan oleh leluhurnya yakni kebudayaan Zoroaster. Zoroaster sebagai salah satu agama tertua di dunia mampu berdampingan bahkan budaya tersebut diserap pada masa Daulah Abbasiyah. Salah satu peninggalan Zoroaster yang dinikmati Islam pada saat ini adalah menara Mesjid. 

Zoroaster menggunakan bangunan atau wadah tersebut sebagai penanda untuk melakukan penyembahan terhadap Tuhan Ahuramasda. Inilah yang kemudian diinovasi sehingga lahirlah sebuah menara yang dijadikan juga penanda untuk beribadah Shalat segera ditunaikan.  

Sementara India yang bahkan mampu membuat peradaban tanpa sentuhan budaya asing juga tak kalah pentingnya pada masa pemerintahan daulah abbasiyah. India mayoritas penganut Hindu yang juga merupakan agama tertua di dunia sangat berkontribusi terhadap Daulah abbasiyah. 

Asimilsi budaya India dapat dilihat dari busana Muslim yang dikenakan masyarakat khususnya Muslim Indonesia yakni Gamis yang diklaim sebagai pakaian ala Muslim milik orang-orang Islam.  

Penjelasan di atas adalah kepingan kecil sebagai perwakilan yang lain yang turut berpartsipasi terhadap peradaban Islam, juga setidaknya sebagai pengantar bahwa perkembangan Islam atau terbentuknya peradaban Islam tak lepas dari sentuhan kebudayaan atau peradaban “luar”. 

Penulisnya orang keren 😎 : Sultriana

NB: gambar dibawah sebagai ekspresi atas kegaduhan dari kesalahan berpikir.

Jumat, 24 April 2020

Corona, Indonesia di Pusaran Blok Barat dan Timur

Persoalan Corona mengubah tatanan kehidupan manusia adalah bagaikan Alun yang nyatanya gelombang yang lebih kecil dari Ombak namun lebih besar dari Riak. 

Kalimat tersebut cukup mewakili luapan “ritme” masyarakat di belahan dunia, 
Tak berhenti menyoal propaganda, konspirasi atau politik. Sekte Agamapun atau yang berbaur SARA jadi riak, tinjauan kesehatan, ekonomi tak usah dipertanyakan lagi bahkan ruang privasi manusia menjadi hingar bingar olehnya.

Corona di tataran Internasional adalah tudingan yang tak terelakkan, yakni lemparan tudingan dari kubu ke kubu. 
Misalnya pihak Rusia, Iran, dan Cina yang sejak awal menduga wabah tersebut berasal dari Amerika Serikat yakni sejak rombongan atlet prajurit AS mengikuti pertandingan militer di Wuhan Oktober 2019 lalu. (Robby Abrour, Amerika, Cina, Islam di tengah pandemic Corona).

Namun ia kalah telat oleh lemparan tudingan Donald Trump yakni sumber dari Virus yang menyerang pernapasan tersebut adalah milik Cina, Wuhan dengan beberapa dalih seperti Virus terdeteksi pada pasar tradisonal Wuhan yang memiliki aneka varian favorit masyarakat Wuhan seperti Kalilawar dan makhluk lainnya. 

Tudingan Wuhan sebagai sumber Corona lebih dipilih oleh khalayak dunia, namun Cina tak bergeming dengan framing yang terbangun serta dampak yang dialaminya. Alhasil Cina mampu keluar dari masa krisisnya. Untuk posisi Cina sebagai negara Adidaya setelah Amerika akan tergeser atau tidak, itu persoalan ending, Cina secara cultural memiliki potensi yang tidak dimiliki oleh AS.

Lantas bagaimana dengan sekutu Cina beserta rivalnya? Tentunya ini membicarakan skala yang lebih besar lagi, tak lain adalah kembali pada sekutu dan rival abadi pada perang dingin yakni jargon Blok Barat dan Timur kembali mencuat.
Sebut saja Iran di kubu Timur yang memiliki sanksi Embargo tapi juga tak bergeming tunduk pada AS Sang Adidaya. Bagi Iran hidup tanpa uluran tangan AS jauh lebih terhormat dibanding tergantung pada negara yang berkuasa di PBB tersebut.

Salah satu bukti Iran menjaga wibawahnya adalah penolakan bantuan AS utuk masyarakat Iran dalam menanggapi wabah yang melanda belahan dunia. Bukan hanya persoalan sanksi yang diderita oleh masyarakat Iran yang memakan usia namun sudah terakumulasi: bagaimana Jenderal Garda Revolusi Iran Qassem Soleimani terbunuh yang menyayat hati masyarakat Iran. Juga porak-poranda yang dilakukan oleh AS memisahkan dua saudara: Irak-Iran. 

Sangat jelas diingatan, konspirasi yang memilukan: Saddam Husein yang kala itu diperalat oleh AS untuk menguatkan pondasi Adidaya di Irak dengan senjata agama yang tak lain adalah persoalan Mashab Sunni-Syi’ah yang laris dan ampuh. Setelah puas bermain dengan boneka dan hasil bumi sudah digenggaman tangan, Saddam dijadikan buronan Internasional dan vonispun jatuh. (baca: demi Harga Diri, Mereka Melawan Amerika..)

Lantas bagaimana dengan Amerika sendiri? Wabah yang turut menjangkit Amerika dengan angka fantastis yang berkisaran 200 ribu tentunya kalang kabut. Namun kondisi itu tak membuat AS lengah bahkan memperkuat benteng dengan menyusun kekuatan militernya di Irak.  

Di sisi lain AS mendapat perlawanan dari Iran yang menjadi tamparan keras bagi AS. Tak berhenti dengan serangan Iran di Irak atas perlakuan AS, Iran bahkan secara terang-terangan memberikan sinyal bahwa ia tak takut, bahkan jika AS membalas serangan tersebut maka Iran akan lebih getol untuk melawan AS dengan keras.
Bagi Iran, perlakuan AS atas penyerangan hingga menewaskan sang Jenderal adalah pelanggaran terhadap peraturan dunia. 

Tewasnya petinggi Iran Qassem Soleimani adalah tindakan yang sangat brutal yang jika terulang kembali maka Iran tak segan-segan untuk menutup  Selat Hormuz mengingat Timteng secara kekuasaan berada di pihak Iran. Sekalipun apa yang dialami oleh Iran, tak mengurungkan niat Rusia, Cina dan Iran sendiri yang siap mengulurkan bantuan terhadap wabah yang dialami AS atas nama kemanusiaan.


Indonesia

Jika Iran dan Irak pecah oleh isu Sunni-Syi’ah, untuk mendapatkan minyak buminya, kenapa tidak dengan Indonesia. Kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia menjadi momok tersendiri bahkan jadi mangsa yang empuk bagi “bangsa lain”. 

Segala cara dilakukan untuk mengambil keuntungan pada ibu Pertiwi termasuk isu Sunni-Syi’ah, mengingat Indonesia adalah mayoritas Sunni dan itu adalah salah satu senjata jitu untuk mengambil hati masyarakat khalayak di Indonesia.

Ambisi semakin besar untuk menancapkan senjata tepat pada bidikan melihat kedekatan Indonesia dengan Blok Timur sejak pemerintahan Soekarno, tak heran jika Sang Rival iri dengan hubungan yang terbangun maka terciptalah sikaut-menyikat dengan menggulingkan Soekarno.

Kini di bawah nahkoda Jokowi yang juga sangat dekat dengan Cina menjadi polemic tersendiri. Semua regulasi atau kebijakan Jokowi menjadi sorotan publik tak terkecuali langkah penanganan wabah Corona. 

Regulasi penanganan wabah yang ditempuh oleh Jokowi bahkan dibanding-bandingkan. Misalnya regulasi yang ditempuh antara Jokowi dan Anies Baswedan diniliai sangat nampak “tumpang-tindih”. 

Wabah tak menjadikan istilah Cebong-Kampret hilang justru semakin jelas dengan riak-riak masing-masing kubu dan kehormatannya. Secara garis politik, para elit sibuk mempertahankan harga diri seolah Indonesia hanya milik Cebong dan Kampret. 

Tak berhenti tumpang tindih antar Cebong-kampret saja, bahkan tumpang tindih di tubuh pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dengan jajaran kementeriannyapun larut, misalnya regulasi pusat dan kementerian perhubungan, juga bertolak belakangnya aturan terkait pelarangan industry untuk tidak beroperasi oleh pemerintah pusat namun kementerian yang terkait masih memperbolehkan industry-industri tertentu tetap beroperasi. 

Regulasi-regulasi tersebut cukup membingunkan masyarakat dan opini public semakin bergulir. Sentiment yang memojokkan presiden bukan hanya pada persoalan regulasinya saja bahkan setiap ucapan presiden juga menjadi perhatian. Masih ingat dengan istilah “alfatekha” yang menyeret nama Jokowi bahkan religiutasnya dipertanyakan? Kini istilah Mudik dan Pulang kampung menjadi “mainan baru” masyarakat +62. Istilah tersebut mecuat pasca tayanggnya Mata Najwa 22 April 2020.    

Istilah tersebut dijadikan sentiment terhadap Jokowi atas regulasi dalam penanganan wabah yang angkanya semakin signifikan, bahkan Jokowi dipandang nyeleneh terhadap perbedaan kata Mudik dan Pulang kampung. 

Hegemoni pendefinisian “Mudik dan Pulang kampung” oleh netizen sadar atau tidak menenggelamkan yang seharusnya menjadi focus utama dalam dialog antara Najwa Shihab dan Jokowi.

Tidak hanya itu, yang membuat Jokowi juga “garuk kepala” sebelumnya adalah polemic staf khusus presiden yang ramai diperbincangkan yang melahirkan sentimen yang tak terbendung. Kesalahan yang dilakukan oleh Andi Taufan Garuda Putra sebagai CEO Amartha adalah persoalan surat-menyurati para Camat dengan dalih sebagai inisatif kerja yang cepat untuk membantu penanggulangan wabah Corona, namun inisiarif tersebut adalah pelanggaran karena Stafsus tidak memiliki kewenangan perihal demikian dan dinilai hanya menguntungkan bagi perusahaan Amartha milik Andi Taufan. 

Stafsus lain yang turut terseret namun hal yang berbeda adalah Belva Devara yang juga merupakan CEO Ruang Guru, dimana Ruang Guru salah satu pemenang Tender penyedia jasa pelatihan Daring dalam program Kartu Prakerja. 

Kedua Staf khusus presiden tersebut melahirkan riak di tengah pandemic yang dinilai bias oleh kepentingan bahkan menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan public, sasarannya tidak hanya pada kedua stafsus presiden saja melankan Jokowi tentu berada pada pusaran opini public. 

Masih terkait pemerintahan Jokowi dan pandemic yakni melemahnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di tengah wabah, masyarakat +62 menilai perihal tersebut adalah kesalahan Jokowi yang memandat Ahok sebagai Komisaris yang tidak cakap dalam mengelolah sehingga mengalami kerugian. Bahkan masyarakt +62 mengkait-kaitkan dengan suku Ahok, artinya SARA mulai didendangkan di pusaran pandemic.

Di sisi lain yang turut mewarnai Indonesia di tengah pandemic ialah  semakin memperjelas sekte secara pemikiran sekalipun tidak secara pengklaiman identitas. Sebut saja penganut muslim yakni antara penganut paham “Jabariyah dan Qadariyah” semakin terang. 

Kubu Jabariyah diminati oleh kebanyakan kalangan ekonomi ke bawah dengan pendidikan di bawah rata-rata,seperti Petani dan buruh lainnya. Sebaliknya Qadariyah yakni golongan terdidik dan rata-rata ekonomi ke atas.

Merebahnya pandemic bagi masyarakat muslim penganut Jabariyah adalah posisi yang serba salah yakni berdiam diri di rumah memang tidak menutup kemungknan untuk tidak terjangkit oleh wabah namun kematian lain yang menyambutnya seperti kelaparan sehingga jargon Stay at home bukanlah solusi mereka bahkan tidak menghiraukan anjuran pemerintah untuk berdiam diri di rumah, baginya tanpa pandemic pun ia akan berjumpa dengan maut. 

Persoalan lain yang tidak diterima oleh kalangan Jabariyah adalah pelarangan ibadah di tempat umum seperti Mesjid oleh pemerintah. Mereka menganggap regulasi tersebut jauh dari aturan Tuhan yang telah dianjurkan bagi manusia.

Bersambung…


Ditulis oleh Sultriana (orang keren yg fotonya dibawah ini, hehe) 😊

Jumat, 13 Maret 2020

Tak Ada Lawan Mematikan Nalar Demokrasi

23 September 2020 jika menghitung selisih waktu mulai dari Maret 2020 adalah waktu yang sangat “berjarak”. Jika cicilan jatuh tempo maka masih bisa ongkang kaki memikirkan makanan yang hendak disaji, urusan kredit mah bisa gali lobang tutup lobang (ujar mereka bagi yang jatuh tempo).

Itu bagi mereka yang jatuh tempo, bagaimana dengan mereka penikmat “kontestan Pilkada”? atau kita menyebutnya sebagai pesta Demokrasi yang akan diselenggarakan pada 23 September 2020  akan datang? Yang jelas jejeran rumah kopi semakin padat dikunjungi, membicarakan banyak hal: mulai dari geopolitik, kultur, basis massa, tema issue yang akan digaungkan yang menarik perhatian rakyat atau bahasa lainnya frame yang hendak dibangun, apalagi pembahasan rekomendasi Parpol adalah bagian yang tak kalah menonjol dengan deretan perangkat obrolan lainnya di meja perundingan yang seakan mengalahkan KMB (Konfrens Meja Bundar) dan tak lupa pula racikan kopi yang jadi menu pokok pada hidangan mereka.

Moment tersebut tentunya adalah moment penentuan sejarah yang cakupannya luas bahkan berefek ke ruang-ruang pribadi masyarakat yang menyelenggarkan pesta demokrasi tersebut. Betapa tidak? Kalah-menang adalah persoalan ending, proses menuju dua kata tersebut adalah sejarah hidup mereka dan hal yang paling sering nongol di permukaan adalah renggangnya hubungan pada lapisan masyarakat tersebut. Mulai dari hubungan emosional antar masyarakat; lapisan terkecil seperti kerenggangan hubungan kekeluargaan bahkan berimbas bagi masyarakat yang belum terbentuk jadi lapisan masyarakat terkecil, sebut saja mereka yang gagal menikah karena perbedaan politik dari kedua bela pihak atau bahkan team sukses yang mengaku sebagai mensukseskan sebuah kandidat justru ia tidak sukses mensukseskan diri sendiri dengan dalih focus  pada team pemenangan sehingga tetiba pilkad rakyat justru kaget begitu banyak “zombie-zombi” yang muncul. Tidak hanya itu fakta lainnya ialah banyak team sukses kandidat yang mengaku pemuda rela menjomblo atau menunda menyunting pujaan hatinya demi misi kemenangan bersama.

Di provinsi Sul-Sel sendiri ada beberapa kabupaten yang akan menyelenggarakan momentum pilkada September mendatang  seperti Gowa dan Bulukumba. Namun ada hal yang menarik dari dua kabupaten tersebut yakni seolah yang nampak di permukaan adalah sesuatu yang berbeda. 

Pertarungan Pilkada Bulukumba jelas terlihat di beberapa icon media baik Via Sosial Media whatshapp, IG, media local, terlebih lagi Via facebook sebagai social media yang masih banyak diminati oleh masyarakat. Berbagai lemparan issue dimainkan seperti jargon; Tanah Panrita Lopi sudah saatnya yang Muda memimpin. Kemudian ditimpali dengan rival sebelah: sepakat yang lebih Muda, issue menarik lainnya terkait kultur bahkan muncul asal-usul dan lahirlah istilah putra daerah asli dan pendatang, perantau yang kembali pulang dan sebagainya.

Luas daerah Bulukumba yang berkisaran 1. 284,63 km (data 2017) adalah angka yang fantastis, tak heran jika isu Barat dan Timur pun muncul. Sama halnya pilkada  Gowa periode 2016 lalu yakni muncul riak-riak pemuda dari Daratan Tinggi (Malino dan sekitarnya) kapan Gowa dipimpin oleh kami dari daerah pegunungan.

Istilah yang sempat menyita perhatian masyarakat luas, Gowa periode 2016 tersebut adalah “Dinasti”. Namun pilkada kali ini masyarakat Gowa seakan “tidur” dengan riak-riak yang lalu, sekalipun adem dan tidak membuat warga masyarakat bimbang dengan pilihan karena seakan sudah satu komando untuk incombent namun di sisi lain menurut AN (nama samaran 11 Maret 2020); Gowa saat ini tidak ada lawan kuat. Artinya potensi ada lawan lain namun power untuk melawan incombent belum mumpuni. 

Pernyataan AN tersebut mengisyaratkan bahwa pesta demokrasi kali ini di kabupaten Gowa seakan  mematikan Nalar. Dengan tidak adanya riak-riak atau lawan yang mumpuni maka aktifitaspun lumpuh. Pergerakan pemuda-pemudi tidak nampak di permukaan, warung kopi jadi sepi, pekerjaan KPU jadi Enteng apalagi Bawaslu sebagai bagian dari penyelenggara. Team suksespun redup bahkan nganggur. Intinya secara perlahan proses Demokrasi pun redup Dan "lumpuh".

Dua contoh Kabupaten di atas, setidaknya bahan referensi bahwa lawan dari sebuah kontestan adalah salah satu tolak ukur kemampuan manusia sebagaimana fungsi manusia itu sendiri. 

Jadi mari berada pada poros meja masing-masing, menikmati hidangan yang disajikan di “depan mata”.

#inspirasi dini hari 04.12, Jumat 13 Maret 2020.

NB : Kiriman tulisan kedua dari seniorku yang keren 😎 silahkan dinikmati guys!

 

© 2013 Rinnaza.id. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top