Jumat, 24 April 2020

Corona, Indonesia di Pusaran Blok Barat dan Timur

19.16

Persoalan Corona mengubah tatanan kehidupan manusia adalah bagaikan Alun yang nyatanya gelombang yang lebih kecil dari Ombak namun lebih besar dari Riak. 

Kalimat tersebut cukup mewakili luapan “ritme” masyarakat di belahan dunia, 
Tak berhenti menyoal propaganda, konspirasi atau politik. Sekte Agamapun atau yang berbaur SARA jadi riak, tinjauan kesehatan, ekonomi tak usah dipertanyakan lagi bahkan ruang privasi manusia menjadi hingar bingar olehnya.

Corona di tataran Internasional adalah tudingan yang tak terelakkan, yakni lemparan tudingan dari kubu ke kubu. 
Misalnya pihak Rusia, Iran, dan Cina yang sejak awal menduga wabah tersebut berasal dari Amerika Serikat yakni sejak rombongan atlet prajurit AS mengikuti pertandingan militer di Wuhan Oktober 2019 lalu. (Robby Abrour, Amerika, Cina, Islam di tengah pandemic Corona).

Namun ia kalah telat oleh lemparan tudingan Donald Trump yakni sumber dari Virus yang menyerang pernapasan tersebut adalah milik Cina, Wuhan dengan beberapa dalih seperti Virus terdeteksi pada pasar tradisonal Wuhan yang memiliki aneka varian favorit masyarakat Wuhan seperti Kalilawar dan makhluk lainnya. 

Tudingan Wuhan sebagai sumber Corona lebih dipilih oleh khalayak dunia, namun Cina tak bergeming dengan framing yang terbangun serta dampak yang dialaminya. Alhasil Cina mampu keluar dari masa krisisnya. Untuk posisi Cina sebagai negara Adidaya setelah Amerika akan tergeser atau tidak, itu persoalan ending, Cina secara cultural memiliki potensi yang tidak dimiliki oleh AS.

Lantas bagaimana dengan sekutu Cina beserta rivalnya? Tentunya ini membicarakan skala yang lebih besar lagi, tak lain adalah kembali pada sekutu dan rival abadi pada perang dingin yakni jargon Blok Barat dan Timur kembali mencuat.
Sebut saja Iran di kubu Timur yang memiliki sanksi Embargo tapi juga tak bergeming tunduk pada AS Sang Adidaya. Bagi Iran hidup tanpa uluran tangan AS jauh lebih terhormat dibanding tergantung pada negara yang berkuasa di PBB tersebut.

Salah satu bukti Iran menjaga wibawahnya adalah penolakan bantuan AS utuk masyarakat Iran dalam menanggapi wabah yang melanda belahan dunia. Bukan hanya persoalan sanksi yang diderita oleh masyarakat Iran yang memakan usia namun sudah terakumulasi: bagaimana Jenderal Garda Revolusi Iran Qassem Soleimani terbunuh yang menyayat hati masyarakat Iran. Juga porak-poranda yang dilakukan oleh AS memisahkan dua saudara: Irak-Iran. 

Sangat jelas diingatan, konspirasi yang memilukan: Saddam Husein yang kala itu diperalat oleh AS untuk menguatkan pondasi Adidaya di Irak dengan senjata agama yang tak lain adalah persoalan Mashab Sunni-Syi’ah yang laris dan ampuh. Setelah puas bermain dengan boneka dan hasil bumi sudah digenggaman tangan, Saddam dijadikan buronan Internasional dan vonispun jatuh. (baca: demi Harga Diri, Mereka Melawan Amerika..)

Lantas bagaimana dengan Amerika sendiri? Wabah yang turut menjangkit Amerika dengan angka fantastis yang berkisaran 200 ribu tentunya kalang kabut. Namun kondisi itu tak membuat AS lengah bahkan memperkuat benteng dengan menyusun kekuatan militernya di Irak.  

Di sisi lain AS mendapat perlawanan dari Iran yang menjadi tamparan keras bagi AS. Tak berhenti dengan serangan Iran di Irak atas perlakuan AS, Iran bahkan secara terang-terangan memberikan sinyal bahwa ia tak takut, bahkan jika AS membalas serangan tersebut maka Iran akan lebih getol untuk melawan AS dengan keras.
Bagi Iran, perlakuan AS atas penyerangan hingga menewaskan sang Jenderal adalah pelanggaran terhadap peraturan dunia. 

Tewasnya petinggi Iran Qassem Soleimani adalah tindakan yang sangat brutal yang jika terulang kembali maka Iran tak segan-segan untuk menutup  Selat Hormuz mengingat Timteng secara kekuasaan berada di pihak Iran. Sekalipun apa yang dialami oleh Iran, tak mengurungkan niat Rusia, Cina dan Iran sendiri yang siap mengulurkan bantuan terhadap wabah yang dialami AS atas nama kemanusiaan.


Indonesia

Jika Iran dan Irak pecah oleh isu Sunni-Syi’ah, untuk mendapatkan minyak buminya, kenapa tidak dengan Indonesia. Kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia menjadi momok tersendiri bahkan jadi mangsa yang empuk bagi “bangsa lain”. 

Segala cara dilakukan untuk mengambil keuntungan pada ibu Pertiwi termasuk isu Sunni-Syi’ah, mengingat Indonesia adalah mayoritas Sunni dan itu adalah salah satu senjata jitu untuk mengambil hati masyarakat khalayak di Indonesia.

Ambisi semakin besar untuk menancapkan senjata tepat pada bidikan melihat kedekatan Indonesia dengan Blok Timur sejak pemerintahan Soekarno, tak heran jika Sang Rival iri dengan hubungan yang terbangun maka terciptalah sikaut-menyikat dengan menggulingkan Soekarno.

Kini di bawah nahkoda Jokowi yang juga sangat dekat dengan Cina menjadi polemic tersendiri. Semua regulasi atau kebijakan Jokowi menjadi sorotan publik tak terkecuali langkah penanganan wabah Corona. 

Regulasi penanganan wabah yang ditempuh oleh Jokowi bahkan dibanding-bandingkan. Misalnya regulasi yang ditempuh antara Jokowi dan Anies Baswedan diniliai sangat nampak “tumpang-tindih”. 

Wabah tak menjadikan istilah Cebong-Kampret hilang justru semakin jelas dengan riak-riak masing-masing kubu dan kehormatannya. Secara garis politik, para elit sibuk mempertahankan harga diri seolah Indonesia hanya milik Cebong dan Kampret. 

Tak berhenti tumpang tindih antar Cebong-kampret saja, bahkan tumpang tindih di tubuh pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dengan jajaran kementeriannyapun larut, misalnya regulasi pusat dan kementerian perhubungan, juga bertolak belakangnya aturan terkait pelarangan industry untuk tidak beroperasi oleh pemerintah pusat namun kementerian yang terkait masih memperbolehkan industry-industri tertentu tetap beroperasi. 

Regulasi-regulasi tersebut cukup membingunkan masyarakat dan opini public semakin bergulir. Sentiment yang memojokkan presiden bukan hanya pada persoalan regulasinya saja bahkan setiap ucapan presiden juga menjadi perhatian. Masih ingat dengan istilah “alfatekha” yang menyeret nama Jokowi bahkan religiutasnya dipertanyakan? Kini istilah Mudik dan Pulang kampung menjadi “mainan baru” masyarakat +62. Istilah tersebut mecuat pasca tayanggnya Mata Najwa 22 April 2020.    

Istilah tersebut dijadikan sentiment terhadap Jokowi atas regulasi dalam penanganan wabah yang angkanya semakin signifikan, bahkan Jokowi dipandang nyeleneh terhadap perbedaan kata Mudik dan Pulang kampung. 

Hegemoni pendefinisian “Mudik dan Pulang kampung” oleh netizen sadar atau tidak menenggelamkan yang seharusnya menjadi focus utama dalam dialog antara Najwa Shihab dan Jokowi.

Tidak hanya itu, yang membuat Jokowi juga “garuk kepala” sebelumnya adalah polemic staf khusus presiden yang ramai diperbincangkan yang melahirkan sentimen yang tak terbendung. Kesalahan yang dilakukan oleh Andi Taufan Garuda Putra sebagai CEO Amartha adalah persoalan surat-menyurati para Camat dengan dalih sebagai inisatif kerja yang cepat untuk membantu penanggulangan wabah Corona, namun inisiarif tersebut adalah pelanggaran karena Stafsus tidak memiliki kewenangan perihal demikian dan dinilai hanya menguntungkan bagi perusahaan Amartha milik Andi Taufan. 

Stafsus lain yang turut terseret namun hal yang berbeda adalah Belva Devara yang juga merupakan CEO Ruang Guru, dimana Ruang Guru salah satu pemenang Tender penyedia jasa pelatihan Daring dalam program Kartu Prakerja. 

Kedua Staf khusus presiden tersebut melahirkan riak di tengah pandemic yang dinilai bias oleh kepentingan bahkan menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan public, sasarannya tidak hanya pada kedua stafsus presiden saja melankan Jokowi tentu berada pada pusaran opini public. 

Masih terkait pemerintahan Jokowi dan pandemic yakni melemahnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di tengah wabah, masyarakat +62 menilai perihal tersebut adalah kesalahan Jokowi yang memandat Ahok sebagai Komisaris yang tidak cakap dalam mengelolah sehingga mengalami kerugian. Bahkan masyarakt +62 mengkait-kaitkan dengan suku Ahok, artinya SARA mulai didendangkan di pusaran pandemic.

Di sisi lain yang turut mewarnai Indonesia di tengah pandemic ialah  semakin memperjelas sekte secara pemikiran sekalipun tidak secara pengklaiman identitas. Sebut saja penganut muslim yakni antara penganut paham “Jabariyah dan Qadariyah” semakin terang. 

Kubu Jabariyah diminati oleh kebanyakan kalangan ekonomi ke bawah dengan pendidikan di bawah rata-rata,seperti Petani dan buruh lainnya. Sebaliknya Qadariyah yakni golongan terdidik dan rata-rata ekonomi ke atas.

Merebahnya pandemic bagi masyarakat muslim penganut Jabariyah adalah posisi yang serba salah yakni berdiam diri di rumah memang tidak menutup kemungknan untuk tidak terjangkit oleh wabah namun kematian lain yang menyambutnya seperti kelaparan sehingga jargon Stay at home bukanlah solusi mereka bahkan tidak menghiraukan anjuran pemerintah untuk berdiam diri di rumah, baginya tanpa pandemic pun ia akan berjumpa dengan maut. 

Persoalan lain yang tidak diterima oleh kalangan Jabariyah adalah pelarangan ibadah di tempat umum seperti Mesjid oleh pemerintah. Mereka menganggap regulasi tersebut jauh dari aturan Tuhan yang telah dianjurkan bagi manusia.

Bersambung…


Ditulis oleh Sultriana (orang keren yg fotonya dibawah ini, hehe) 😊

Written by

Hai Good People, semoga postingannya bermanfaat dan bisa menambah wawasan kamu. Jangan lupa tinggalkan jejak kamu dengan klik tanda suka atau dengan komentar. Jika ingin mengcopy-paste harap sertakan link dan nama blog ini. Salam sastrawan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

© 2013 Rinnaza.id. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top