Jumat, 13 Maret 2020

Tak Ada Lawan Mematikan Nalar Demokrasi

19.38

23 September 2020 jika menghitung selisih waktu mulai dari Maret 2020 adalah waktu yang sangat “berjarak”. Jika cicilan jatuh tempo maka masih bisa ongkang kaki memikirkan makanan yang hendak disaji, urusan kredit mah bisa gali lobang tutup lobang (ujar mereka bagi yang jatuh tempo).

Itu bagi mereka yang jatuh tempo, bagaimana dengan mereka penikmat “kontestan Pilkada”? atau kita menyebutnya sebagai pesta Demokrasi yang akan diselenggarakan pada 23 September 2020  akan datang? Yang jelas jejeran rumah kopi semakin padat dikunjungi, membicarakan banyak hal: mulai dari geopolitik, kultur, basis massa, tema issue yang akan digaungkan yang menarik perhatian rakyat atau bahasa lainnya frame yang hendak dibangun, apalagi pembahasan rekomendasi Parpol adalah bagian yang tak kalah menonjol dengan deretan perangkat obrolan lainnya di meja perundingan yang seakan mengalahkan KMB (Konfrens Meja Bundar) dan tak lupa pula racikan kopi yang jadi menu pokok pada hidangan mereka.

Moment tersebut tentunya adalah moment penentuan sejarah yang cakupannya luas bahkan berefek ke ruang-ruang pribadi masyarakat yang menyelenggarkan pesta demokrasi tersebut. Betapa tidak? Kalah-menang adalah persoalan ending, proses menuju dua kata tersebut adalah sejarah hidup mereka dan hal yang paling sering nongol di permukaan adalah renggangnya hubungan pada lapisan masyarakat tersebut. Mulai dari hubungan emosional antar masyarakat; lapisan terkecil seperti kerenggangan hubungan kekeluargaan bahkan berimbas bagi masyarakat yang belum terbentuk jadi lapisan masyarakat terkecil, sebut saja mereka yang gagal menikah karena perbedaan politik dari kedua bela pihak atau bahkan team sukses yang mengaku sebagai mensukseskan sebuah kandidat justru ia tidak sukses mensukseskan diri sendiri dengan dalih focus  pada team pemenangan sehingga tetiba pilkad rakyat justru kaget begitu banyak “zombie-zombi” yang muncul. Tidak hanya itu fakta lainnya ialah banyak team sukses kandidat yang mengaku pemuda rela menjomblo atau menunda menyunting pujaan hatinya demi misi kemenangan bersama.

Di provinsi Sul-Sel sendiri ada beberapa kabupaten yang akan menyelenggarakan momentum pilkada September mendatang  seperti Gowa dan Bulukumba. Namun ada hal yang menarik dari dua kabupaten tersebut yakni seolah yang nampak di permukaan adalah sesuatu yang berbeda. 

Pertarungan Pilkada Bulukumba jelas terlihat di beberapa icon media baik Via Sosial Media whatshapp, IG, media local, terlebih lagi Via facebook sebagai social media yang masih banyak diminati oleh masyarakat. Berbagai lemparan issue dimainkan seperti jargon; Tanah Panrita Lopi sudah saatnya yang Muda memimpin. Kemudian ditimpali dengan rival sebelah: sepakat yang lebih Muda, issue menarik lainnya terkait kultur bahkan muncul asal-usul dan lahirlah istilah putra daerah asli dan pendatang, perantau yang kembali pulang dan sebagainya.

Luas daerah Bulukumba yang berkisaran 1. 284,63 km (data 2017) adalah angka yang fantastis, tak heran jika isu Barat dan Timur pun muncul. Sama halnya pilkada  Gowa periode 2016 lalu yakni muncul riak-riak pemuda dari Daratan Tinggi (Malino dan sekitarnya) kapan Gowa dipimpin oleh kami dari daerah pegunungan.

Istilah yang sempat menyita perhatian masyarakat luas, Gowa periode 2016 tersebut adalah “Dinasti”. Namun pilkada kali ini masyarakat Gowa seakan “tidur” dengan riak-riak yang lalu, sekalipun adem dan tidak membuat warga masyarakat bimbang dengan pilihan karena seakan sudah satu komando untuk incombent namun di sisi lain menurut AN (nama samaran 11 Maret 2020); Gowa saat ini tidak ada lawan kuat. Artinya potensi ada lawan lain namun power untuk melawan incombent belum mumpuni. 

Pernyataan AN tersebut mengisyaratkan bahwa pesta demokrasi kali ini di kabupaten Gowa seakan  mematikan Nalar. Dengan tidak adanya riak-riak atau lawan yang mumpuni maka aktifitaspun lumpuh. Pergerakan pemuda-pemudi tidak nampak di permukaan, warung kopi jadi sepi, pekerjaan KPU jadi Enteng apalagi Bawaslu sebagai bagian dari penyelenggara. Team suksespun redup bahkan nganggur. Intinya secara perlahan proses Demokrasi pun redup Dan "lumpuh".

Dua contoh Kabupaten di atas, setidaknya bahan referensi bahwa lawan dari sebuah kontestan adalah salah satu tolak ukur kemampuan manusia sebagaimana fungsi manusia itu sendiri. 

Jadi mari berada pada poros meja masing-masing, menikmati hidangan yang disajikan di “depan mata”.

#inspirasi dini hari 04.12, Jumat 13 Maret 2020.

NB : Kiriman tulisan kedua dari seniorku yang keren 😎 silahkan dinikmati guys!

Written by

Hai Good People, semoga postingannya bermanfaat dan bisa menambah wawasan kamu. Jangan lupa tinggalkan jejak kamu dengan klik tanda suka atau dengan komentar. Jika ingin mengcopy-paste harap sertakan link dan nama blog ini. Salam sastrawan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

© 2013 Rinnaza.id. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top