Kamis, 06 Februari 2020

Menghina Kemiskinanku

Menghina Kemiskinanku VS Relasi Kuasa Tubuh

Tulisan ini hanya coretan yang tak layak kupersembahkan untuk yang kurindukan, 
Namun pikirku, daripada tidak berbuat sama sekali lebih potensi menimbulkan penyesalan.
Mat Milad 73


Sering kali saya ingin marah hanya karena sebuah pandangan khalayak, yang saya sendiri bimbang terhadap layak atau tidaknya akan hal tersebut. Bagi khalayak dan yang diidamkan oleh mereka adalah memiliki penampilan yang menarik adalah hal yang prestise. Jika ia lelaki memiliki Cool stylish seperti gaya Parlente dan sebagainya adalah wajah fashion ‘mereke”. Dan jika ia perempuan,sebagian besar mereka bangga dengan memiliki kulit putih nan bersih, rambut lurus, memiliki  tinggi dengan berat badan minimalis alias langsing sekalipun saat ini sudah mulai bergeser bahwa perempuan Gemuk itu Bohai dan “masa depan suami” dan beberapa kategori pendefinisian terkait tubuh perempuan.

Tubuh perempuan adalah wajah yang  jadi momok lahan empuk Eksploitasi, menyoal Kapitalisme, bahkan Agama sangat terlibat dalam “pendefinisian perempuan” dan tak mau kalah andil terkait Value perempuan tentunya adalah Budaya, karena tubuh memiliki relasi kuasa (back to M. Faucoult)
Jika mengulas sejarah perempuan, tentunya secara budaya dan penafsiran agama secara klasik adalah kisah yang dimulai dari “pertentangan” yang mengarah atau cenderung  pada ketidakberuntungan yang mereka menyebutnya sebagai makhluk The Second (bukan focus topik). 

Ketidakberuntungan tersebut diperparah oleh gilasan Revolusi Industri yang membengkakkan angka kekerasan terhadap perempuan, kemiskinan, pengangguran, pelacuran, criminal dan semua jenis yang dianggap Pathos oleh khalayak dan beberapa eksploitasi lainnya yang merugikan perempuan sebagai hukum kausalitas dari Peng-agungan Teknologi.

Lucunya lagi bicara konteks Indonesia, sebagaian besar penduduknya memiliki penglihatan buram terhadap wajah perempuan Nusantara baik mereka yang memiliki kualifikasi high seperti kaum yang merasa terpelajar maupun level middle ke bawah. Penglihatan buram yang dimaksud ialah mereka terhegemoni oleh term cantik itu putih, bersih, memiliki rambut lurus atau jenis definisi cantik lainnya. Mereka lupa bahwa wajah nusantara adalah manifestasi wajah yang lebih cenderung pada kondisi alam di mana mereka bermukim, seperti letak geografis tanpa  memungkiri factor pembentukan wajah atau tubuh bahkan karakter adalah sintesa melalui perkawinan atau Genetik.

Menifestasi yang beragam tersebut seolah-olah dilupakan dan hanya tercurah pada focus satu definisi wajah (sebut saja seperti itu). Iniilah yang menggiring sebagian besar manusia tereksploitasi secara besar-besaran. Mereka menguras tenaga, pikiran, materil, hingga melewatkan value yang sudah dibentuk secara turun-temurun oleh leluhur mereka demi berada pada deretan satu wajah yang dibentuk oleh ide kapitalisme,  sehingga memunculkan Value-value yang baru seperti cantik itu butuh modal, cantik racikan (istilah kekinian) karena skincare dan lainnya.

Sadar atau  tidak, definisi satu wajah menciptakan war baik secara kelompok dan ruang pribadi manusia secara individual. Betapa tidak, pendefinisian satu wajah ini adalah bentuk pengingkaran terhadap kelompok Ras tertentu dan penghinaan terbesar bagi ruang pribadi mereka.

Perang secara individu yang dimaksud adalah “ketidaksiapan” menerima definisi satu wajah sebagai Value social pada ruang-ruang pribadi manusia secara individual, baik secara ekonomi maupun nilai social itu sendiri.

Ada “gesekan atau ketersinggungan” antar individu satu dengan lain terkait pendefinisian tersebut. Mengapa? Tidak semua perempuan menyukai berkulit putih, tidak semua berkulit putih menggunakan skincare , tidak semua perempuan menyukai tinggi badan di atas rata-rata, ada yang menyukai rambut ikal, lurus, gemuk, kurus dan beberapa fakta lainnya.

Fakta-fakta tersebut “tenggelam” seiring munculnya definisi satu wajah. Bahkan perempuan kerap kali mendapatkan “ketidaknyamanan” dalam berinteraksi sebagai akibat dari definisi satu wajah tersebut, seperti  stereotype. Sebut saja saya pribadi (saya mencontohkan diri sendiri dengan beberapa pertimbanga termasuk pengalaman dan pertimbangan yang tidak memicu ketersinggungan individu lainnya).

Saya sering mendapatkan stereotype yang sangat mengganggu ruang pribadi saya. Saya mengakui saya berkulit putih bukan karena saya berkebangsaan lain dan itu adalah bagian hal yang harus disambut suka cita kepada Ia yang Supranatural.
Sejak kecil saya sudah terganggu dengan sapaan masyarakat dimana saya lahir, saya jarang disapa dengan nama yang telah diberikan oleh kedua orangtuaku yang berkorban materi hanya sebuah nama yakni dalam tradisi memotong kambing sebagai bentuk bahwa ke-Akuanku terhadap nama saya yakni: ANA.
Namun faktanya, saya sering disapa oleh ibu-ibu dan bapak-bapak di sekeliling saya yakni Buleng. Sapaan tersebut bagi sebagian besar orang tua adalah hal yang positif karena pada dasarnya semua orang tua senang  jika anaknya dielukkan oleh masyarakat, akan tetapi entah mengapa saya kurang suka dengan sapaan tersebut. Untuk menghindari sapaan yang sering menyapa, saya jarang bergaul dengan anak seusiaku karena saya tak mau aduh mulut dengan mereka hanya karena mereka memanggilku dengan sapaan Buleng.

Hingga usiaku tepat untuk di bangku Sekolah Dasar, sapaan itu bertambah yakni Balanda toto’ (Orang berkebangsaan Belanda). Sapaan itu saya terima  selama enam tahun dari Guru dan teman-teman kelasku, lagi-lagi sikapku agak dingin terhadap teman seusiaku, jikapun saya memiliki teman, yah sekitaran dua sampai tiga saja. Di lingkungan sekolah saya menyibukkan diri dengan mengerjakan tugas bahkan tugas teman kelas saya kerjakan, tak heran jika saya sering mendapat peringkat satu karena kondisi yang demikian.

Sekolah Menengah Pertamapun demikian, sapaan dari Balanda bermemorfosis menjadi Bule’ masuk sekolah, yang pada saat itu lagi Buming Sinetron 2000an Bule masuk kampung. Saya sempat bertanya dengan teman sekelas saya: kenapa kalian memanggil saya Bule’? dengan jelas terngiang ditelinganku yakni selain kamu berkulit putih rambutmupun merah bagaikan dicat, tuturnya. Semenjak mendengar penjelasan dari teman, saya berinisiatif untuk mencat hitam. Selama tiga tahun berturut-turut saya selalu mencat hitam rambutku tapi sapaan itu sudah terlanjur melekat.

Masuk masa Putih Abu-abu adalah harapan baru bagiku, saya memilih sekolah Agama yakni Ibtidaiyah. Saya tidak ingin satu sekolah dengan mereka-mereka yang sering menyapa saya deng Bule’, apalagi di Ibtidaiyah wajib menggunakan jilbab. Paling tidak rambutku bukan lagi jadi tontonan menarik buat mereka. Hal itu memang bukan lagi “bulan-bulanan” akan tetapi bentuk tubuhku yang lain menjadi sasaran mereka yakni julukan Si bibir Merah dan itu membuatku Geram. 

Fase-fase berontakku tidak bisa saya teriakkan pada mereka dan hasil untuk menunjukkan bahwa saya tidak lemah, saya bentuk karakterku sendiri dengan berbicara agak lantang di banding anak gadis lainnya. Di bangku kuliahpun sama tapi agak sedikit berbeda, karena muka saya memerah jika saya tertawa atau lagi berbohong maka banyak yang menyebut saya si Khumairah (yang kemerah-merahan). 

Sedikit berbedanya saya di bangku kuliah dengan masa sekolah adalah saya sudah bisa berbaur dan memiliki banyak teman bahkan ninggrum pada  beberapa organisasi. Salah satunya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di HMI, kami sering diskusi terkait banyak hal bahkan hampir semua pembahasan kami diskusikan, termasuk ruang-ruang privasi. 
Suatu ketika kami mengadakan kajian  rutin di HMI membahas terkait Kapitalisme. Singkat cerita pemateri menatap saya dan menodong saya denga pertanyaan sekaligu pernyataan: bagamana Bu ketua (saat itu saya menjabat sebagai ketu KOHATI Kom. UShuluddin), Kosmetik bagian dari Kapitalisme atau ada pernyataan lain? (kurang lebih seperti itu) Seketika itu saya tersadarkan kenapa Sang Pemateri tertuju pada saya diantara puluhan peserta pendengar yang ada, tanpa kujawab dengan kata melainkan ekspresi bahwa pamateri tersebut  berada pada titik Vallacy.

Tidak hanya itu, saya kerap mendapat pernyataan dari senior-senior yang nadanya: “An, kenapa cowok takut mendekatimu karena biaya skincare-mu  saja jika saya tebak harga Tujuh Ratus Ribu ke atas, belum lagi biaya yang lainnya”. Sayapun tersenyum sekalipun dalam hati ingin rasanya tanganku mendekatkan ke pipinya. Namun apalah daya saat itu saya terhegemoni sebagai kader yang memiliki pasal terkait antara senior dan jenior yakni senior tidak pernah salah bahkan sampai saat ini “teori” tersebut berlaku hingga kepersoalan romantisme. 

Todongan skincare ini sempat mendorong saya menggunakan minyak zaitun agar terlihat berkulit eksotik, berlarian di bawah terik matahari dan usaha lainnya. 
Perenungan adalah proses terbaik untuk menyadarkan diri, stigma masyarakat terhadap apa yang saya alami hingga saat ini adalah tidak lepas dari bentukan yang sudah terlanjur digiring oleh “layanan iklan” yang tidak bertanggung jawab.
Pernyataan terkait saya menggunakan skincare, saat ini masih terngiang di ingatanku, tahu mengapa? Karena pernyataan tersebut menghina kemiskinanku yang sampai usiaku sudah menginjak kepala tiga jika tidak salah ingat saya hanya mampu membeli handbody seharga Tujuh Ribu rupiah itupun lima tahun lalu, saat itu masa KKN. Jangankan skincare, menggunakan sabun untuk area wajah/ muka enggan saya lakukan. Selain todongan tersebut menghina kemiskinanku juga mengoyak bentuk tubuhku dan tubuh-tubuh perempuan lain. 

Apa yang saya lakukan adalah bentuk penolakan definisi cantik itu putih dan koleganya, bukan berarti saya menolak karunia yang diberikan. Akan tetapi ingin menyampaikan ke khalayak setiap manusia terkait tubuhnya adalah kapasitasnya. Dan pada dasarnya ingin berpenampilan menarik adalah bukanlah suatu impian buruk tanpa mengindahkan yang lainnya. 

Saya tak perlu jelaskan lebih rinci terkait yang “memaksakan diri” untuk berpenampilan cantik yang tidak sadar menambah angka kemiskinan dan lainnya akan tetapi tulisan ini saya rasa setidaknya mengantarkan pembaca bahwa tubuh manusia memiliki relasi kuasa terhadap nilai yang dibentuk oleh manusia itu sendiri.

Tulisan ini hanya babak baru yang potensi dikembangkan sesuai dengan kapasitas tubuh, kareana tulisan ini masih tersirat belum runtut.

05 Februari 2020 
Oleh Sultriana Arifin
 

© 2013 Rinnaza.id. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top